Laman

Thursday, June 21, 2012

BERTAUBATLAH BAGI PARA PEZINA


Zina adalah perbuatan yang terlarang dalam semua agama samawi. Karena hinanya dosa zina, Islam mengharamkan segala sebab yang bisa mengantarkan pada perbuatan zina. Salah satunya adalah pacaran. Penyakit akut yang telah menimpa remaja muslim saat ini. Wajar saja, jika saat ini banyak gadis SMA dan mahasiswi yang tidak perawan. Allahul musta’an

Diluar pembahasan dosa zina, ada beberapa hal perlu diperhatikan terkait hamil di luar nikah:

Pertama, Janin Hasil Zina Tidak Boleh Digugurkan
Bagaimanapun proses janin ini muncul, dia sama sekali tidak menanggung dosa orang tuanya. Baik dari hasil zina maupun pemerkosaan. Karena itu, mengganggu janin ini, apalagi menggugurkannya adalah sebuah kezaliman dan kejahatan. Allah berfirman,

وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ – بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ
“Dan apabila anak-anak yang dibunuh itu ditanya, dengan sebab dosa apakah dia dibunuh?” (QS. At-Takwir: 8 – 9)

Bisakah Anda bayangkan, jawaban apa yang akan Anda sampaikan di hadapan Allah, ketika ditanya apa alasanmu membunuh anakmu?

Kedua, anak hasil zina dinisbahkan kepada ibunya dan Tidak Boleh Kepada Bapaknya
Alasannya karena bapak biologis bukanlah bapaknya. Ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abdullah bin Amr bin Ash, beliau mengatakan,

قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka TIDAK dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya… (HR. Ahmad, Abu Daud, dihasankan Al-Albani serta Syuaib Al-Arnauth).

Dalil lainnya adalah hadis dari Aisyah radhiallahu’anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الولد للفراش وللعاهر الحجر
“Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.”

Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikitpun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” (Syarh Shahih Muslim, An-Nawawi, 10:37)

Berdasarkan keterangan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa anak hasil zina SAMA SEKALI bukan anak bapaknya. Karena itu, tidak boleh di-bin-kan ke bapaknya.

Bagaimana jika di-bin-kan ke bapaknya?
Hukumnya terlarang bahkan dosa besar. Ini berdasarkan hadis dari Sa’d, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام
“Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari no. 6385)

Karena bapak biologis bukan bapaknya maka haram hukumnya anak itu di-bin-kan ke bapaknya.
Bagaimana dengan nasabnya?

Karena anak ini tidak punya bapak, maka dia dinasabkan ke ibunya, misalnya: paijo bin fulanah. Sebagaimana Nabi Isa ‘alaihis salam di-bin-kan ke ibunya, Isa bin Maryam (dari sudut pandang penasaban).

Ketiga, Wali Nikah
Jika anak yang terlahir dari zina perempuan, maka anak ini tidak punya wali dari pihak keluarganya. Karena dia tidak memiliki bapak, sehingga tidak ada jalur keluarga dari pihak bapak. Sementara wali nikah hanya ada dari pihak keluarga bapak. Karena itu, wali nikah pindah ke hakim (KUA). Penjelasan selengkapnya tentang wali nikah telah dikupas di alamat: http://konsultasisyariah.com/urutan-wali-nikah

Keempat, Laki-Laki yang Menzinai Hingga Hamil, Tidak Boleh Menikahi Wanita Tersebut Sampai Melahirkan
Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَا توطأ حامل حتى تضع
“Wanita hamil tidak boleh diajak berhubungan sampai dia melahirkan.” (HR. Abu Daud, Ad-Darimi, dan disahihkan Al-Albani)

Laki-laki yang berzina dengan wanita, bukanlah suaminya. Sementara pengecualian yang boleh melakukan hubungan badan dengan wanita hamil adalah suami. Sebagaimana yang pernah di jelaskan di: http://konsultasisyariah.com/menggauli-istri-yang-sedang-hamil. Karena konsekwensi nikah, yaitu halalnya hubungan badan, tidak ada. Oleh karena itu, nikah dalam kondisi demikian hukumnya tidak sah.

Kemudian, dalil lain yang menunjukkan terlarangnya menikahi wanita hamil hasil zina adalah hadis dari Ruwaifi’bin Tsabit Al-Anshari radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَسْقِىَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, untuk mengairi tanaman orang lain.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan dishahihkan Ibnu Katsir dan Al-Albani)

Maksud hadis di atas adalah seorang laki-laki dilarang ‘mengairi’ (memasukkan air mani) ke rahim wanita, yang di dalamnya terdapat janin orang lain. Padahal, janin yang berada di rahim si wanita, sama sekali bukanlah tanaman lelaki yang menzinainya. Karena hasil hubungannya sama sekali tidak dianggap sebagai keturunannya.

Kelima, Pernikahan Tidaklah Menghilangkan Dosa Zina
Dosa zina tidak bisa hilang hanya dengan menikah. Jangan sampai Anda punya anggapan bahwa dengan menikah berarti pelaku zina telah mendapatkan ampunan. Dosa zina bisa hilang dengan taubat yang sungguh-sungguh. Seseorang akan tetap dianggap sebagai PEZINA selama dia belum bertaubat dari dosa zina.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
التائب من الذنب كمن لا ذنب له
“Orang yang bertaubat dari perbuatan dosa, seperti orang yang tidak melakukan dosa.” (HR. Ibnu Majah, Baihaqi, dan dishahihkan Al-Albani)

Untuk bisa disebut sebagai orang yang telah bertaubat, dia harus membuktikan bentuk penyesalannya dalam kehidupannya, di antaranya:

Dia merasa sangat sedih dengan perbuatannya.
Meninggalkan semua perbuatan yang menjadi pemicu zina, seperti melihat gambar atau film porno.
Meninggalkan komunitas dan teman yang menggiring seseorang untuk kembali berzina. Seperti pergaulan bebas, teman yang tidak menjaga adab bergaul, suka menampakkan aurat, dst..
Berusaha mencari komunitas yang baik, yang menjaga diri, dan hati-hati dalam pergaulan.
Berusaha membekali diri dengan ilmu syar’i. Karena inilah yang akan membimbing manusia menuju jalan kebenaran.
Berusaha meningkatkan amal ibadah, sebagai modal untuk terus bersabar dalam menahan maksiat.

Keenam, Laki-Laki dan Wanita yang Berzina Tidak Boleh Menikah Sampai Bertaubat
Allah mengharamkan laki-laki yang baik untuk menikah dengan wanita pezina, dan sebaliknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

الزَّانِي لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكُ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى المؤْمِنِينَ
“Lelaki pezina tidak boleh menikah, kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. Demikian pula wanita pezina tidak boleh menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Dan hal itu diharamkan bagi orang yang beriman.” (QS. An-Nur: 3)

Selama pelaku zina itu belum bertaubat dengan sungguh-sungguh maka gelar pezina akan senantiasa melekat pada dirinya. Selama gelar ini ada, dia tidak diperkenankan menikah dengan pasangannya, sampai dia bertaubat.

Allahu a’lam

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
»»  READMORE...

MENGENAL 8 PINTU SURGA

Foto: MENGENAL 8 PINTU SURGA

 “…Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya sudah terbuka, berkatalah penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini sedang kalian kekal didalamnya.” (QS. Az-Zumar: 73) 

 Bagi orang mukmin yang bertakwa disediakan oleh Allah swt. yang Maha Besar sebuah surga berisi segala bentuk kenikmatan. Surga dan kenikmatan yang ada di dalamnya masyhur dikenal sebagai sesuatu yang tak pernah dilihat oleh mata, didengar telinga atau terlintas di hati manusia seperti kita. Suatu tempat yang sangat spesial, unik dan otentik, yang merupakan rahasia Allah atas makhluk-Nya yang bertakwa.

Sebagaimana diberitakan Al-Qur’an, surga memiliki pintu-pintu. Lewat pintu-pintu itulah orang mukmin dari zaman awal hingga zaman akhir, juga Nabi Muhammad saw. beserta umatnya akan berbondong-bondong masuk. Allah berfirman dalam surat Shad, ayat 49-50, “Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) surga 'Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka.” 

Al-Qur’an menceritakan bahwa pintu-pintu surga akan dibuka bilamana orang-orang mukmin telah sampai di sana. Malaikat-malaikat yang menjaganya akan menyambut mereka seraya menyerukan salam kesejahteraan dan kedamaian bagi orang-orang yang memang berhak atas nikmat surga itu.

“Kesejahteraan dilimpahkan atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini sedang kalian kekal di dalamnya,” ujar para malaikat sebagaimana termaktub dalam ayat ke-73, surat Az-Zumar di atas.

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, kata “pintu-pintu yang terbuka”  memiliki makna bahwa pintu surga adalah pintu yang membuat penghuninya dapat leluasa masuk dengan lancar ke dalamnya. Mereka juga dapat mondar-mandir di dalamnya. Lewat pintu itu pula, malaikat-malaikat bebas mendatangi mereka dengan membawa hadiah dan rezeki dari Allah swt. dan apa saja yang menggembirakan mereka. Surat Ar-Ra’d ayat ke 24 menyebutkan bahwa para malaikat menyabangi penghuni surga lewat pintu-pintu yang terbuka itu seraya menyerukan salam yang sangat indah, “Salamun Alaikum bima shabartum.” 

Demikianlah pintu-pintu surga yang terbuka yang melambangkan keridhaan Allah ketika menyambut makhluk-Nya yang ikhlas, yang menghamba pada-Nya sebagaimana janji yang ditetapkan-Nya. Lalu apa sajakah pintu-pintu surga itu?

Delapan Pintu dan Amalan Khusus

Penjelasan terperinci mengenai pintu-pintu surga tertuang dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah melalui periwayatan Imam Bukhari dan Muslim.

Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa membelanjakan sebagian harta kekayaannya di jalan Allah swt., ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga dan surga memiliki delapan buah pintu. Orang yang mengerjakan shalat (secara teratur dan benar) akan dipanggil dari pintu shalat, orang yang sering bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah, orang yang berjihad akan dipanggil dari pintu jihad dan orang yang sering berpuasa secara teratur akan dipanggil dari pintu puasa.” 

Abu Bakar lalu bertanya, “Adakah orang yang akan dipanggil dari semua pintu itu, ya Rasulullah?” 

Nabi menjawab, “Ada dan kuharap kau salah satu dari mereka.”

Bisa ditarik kesimpulan bahwa di surga ada pintu-pintu khusus yang akan dimasuki orang yang memiliki amal khusus dan menonjol dalam hidupnya. Yang bagus dari segi shalat, meliputi kekhusyuan, kesempurnaan waktu dan rukunnya serta sering melakukan shalat sunnah, maka dia akan memasuki surga lewat pintu shalat. Demikian pula yang ahli sedekah akan masuk lewat pintu sedekah. Seperti juga yang berjihad dan berpuasa. Untuk pintu puasa, Nabi menambahkan keterangan lewat sabdanya:

"Di dalam surga terdapat delapan pintu, salah satunya sebuah pintu yang disebut dengan "ar-Rayyan". Tidak memasuki pintu tersebut kecuali orang-orang yang berpuasa, dan apabila mereka sudah memasukinya, pintu itu akan dikunci lagi, sehingga tidak ada yang masuk lewatnya." Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Sahal bin Sa’ad. 

Kesimpulan yang juga tampak jelas dari hadits-hadits shahih ini adalah bilangan pintu surga yang berjumlah delapan. Inilah pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf. Empat pintu di antaranya telah disebut Nabi saw. Lalu apakah empat pintu yang lain?

Imam Al-Qurthubi dalam Rahasia Kematian Alam Akhirat dan kiamat, mengutip ucapan Qadhi Iyadh yang berujar, “Dalam hadits tadi, yang disebutkan oleh Muslim baru empat pintu saja. Selebihnya adalah pintu taubat, pintu orang-orang yang menahan amarah, pintu orang-orang yang ridha, dan pintu kanan tempat orang yang masuk surga tanpa hisab.”       

Mengenai pintu terakhir yang disebut Qadhi Iyadh, yakni pintu tempat masuk orang yang meraih surga tanpa menjalani hisab terlebih dahulu mendapat konfirmasinya dari hadits shahih Bukhari-Muslim tentang syafaat. Hadits itu dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah berfirman, ‘Hai Muhammad, bawalah masuk orang-orang dari umatmu yang tidak perlu dihisab ke dalam surga melalui pintu dibagian kanan surga, sedangkan yang lain dapat masuk dari pintu-pintu yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh para penghuni surga lainnya’.”

Sedang mengenai kepastian pintu-pintu yang lain tak didapat keterangan lugasnya. Namun, para ulama meyakini bahwa amal kebajikan manusialah yang menjadi alasan bagi kekhususan pintu-pintu surga itu. Kebajikan itulah hal utama yang membuat seseorang akan masuk surga lewat satu pintu atau dapat melalui pintu yang manapun yang dia kehendaki karena amal perbuatannya memadai untuk lewat di semua pintu surga yang telah disediakan Allah. Beberapa ulama lain berpendapat bahwa pintu surga sebenarnya berjumlah banyak.

Luas dan Ciri Pintu Surga

Sebuah hadits dari Abu Hurairah memberitakan mengenai luasnya pintu surga. Hadits yang merupakan riwayat dari Bukhari, Ahmad, dan Abu Uwanah itu menceritakan bahwa suatu ketika kepada Nabi dihidangkan semangkuk roti yang dimasak dengan daging. Rasulullah lantas menggigit lengan kambing pada bagian yang paling digemarinya dan berujar, “Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat.” Kata-kata ini diucapkan Nabi sebanyak dua kali yang ternyata dimaksudkan untuk memancing pertanyaan dari para sahabat kenapa hal itu bisa terjadi. Nabi yang mulia itu lalu bercerita bahwa ia datang ke Arsyi, lalu bersujud di hadapan Allah dan Allah menempatkan dirinya pada tempat yang belum pernah ditempati siapa pun sebelumnya dan tak akan ditempati siapa pun sesudahnya.

Kemudian Nabi bertanya mengenai umatnya dan Allah pun berfirman, “Wahai Muhammad masukkan umatmu yang tidak dihisab lewat pintu sebelah kanan. Mereka bebas masuk pintu-pintu lainnya.” Kemudian Nabi pun bersabda, “Demi Muhmmad yang jiwanya ada ditangan-Nya, jarak antara kedua panel daun pintu surga adalah seperti Mekah dan Hajar atau Hajar dan Mekah.”

Hadits ini menjadi pijakan kuat bagi informasi mengenai luas pintu surga yang gaib bagi kita itu. Jarak antara Mekah dan Hajar sendiri diperkirakan berjarak 1160 km. Sedangkan dalam redaksi lain yang juga diyakini keshahihannya, jarak pintu surga adalah seperti Mekah dan Basrah, yakni 1250 km.

Di luar penjelasan ini terdapat beberapa hadits yang dianggap lebih lemah semisal hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya yang ia dengar dari Al-Jariri yang berkata bahwa Nabi saw bersabda, “Jarak antara dua daun pintu surga adalah empat puluh tahun. Pada suatu hari, ia penuh sesak.” Sementara itu, hadits lain ada yang menyebut luas antara dua daun pintu surga adalah tujuh puluh tahun perjalanan. Waallahu A’lam.

Mengenai ciri-ciri pintu surga didapat penjelasan dari Walid bin Muslim bahwa pintu-pintu surga itu dapat dilihat oleh manusia. Bagian luar pintu-pintu surga itu dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar. Menurutnya, pintu surga itu dapat berbicara dan orang dapat berbicara dengannya. Pintu-pintu surga juga memahami perkataan seperti, “Bukalah atau tutuplah.”

 Ciri pintu surga yang lain adalah memiliki rantai sebagaimana diberitakan Anas bin Malik. Ia menyebut bahwa Nabi pernah berkata, beliaulah yang pertama kali memegang rantai pintu surga dan itu merupakan kebanggaan tinggi yang tak ada kebanggaan lain melebihi itu. Ibnu Uyainah juga menyebut, sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi  bahwa Nabi saw menyebut rantai itu dipegang beliau dan kemudian digerak-gerakkannya. Demikian sebagaimana ditulis Ibnu a-Qayyim Al-Jauziyyah dalam Tamasya ke Surga.

Selanjutnya ciri pintu surga dianggap bersesuaian dengan keadaan surga yang bertingkat-tingkat. Jadi surga yang lebih tinggi memiliki pintu yang lebih luas dibanding tingkatan surga yang lebih rendah. Secara logis juga diyakini, jika luas surga bermacam-macam maka luas pintunya juga bermacam-macam. Waallahu a’lamu bishawab.

MENGENAL 8 PINTU SURGA

“…Sehingga apabila mereka sampai ke surga itu sedang pintu-pintunya s
udah terbuka, berkatalah penjaga-penjaganya, ‘Kesejahteraan (dilimpahkan) atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini sedang kalian kekal didalamnya.” (QS. Az-Zumar: 73)

Bagi orang mukmin yang bertakwa disediakan oleh Allah swt. yang Maha Besar sebuah surga berisi segala bentuk kenikmatan. Surga dan kenikmatan yang ada di dalamnya masyhur dikenal sebagai sesuatu yang tak pernah dilihat oleh mata, didengar telinga atau terlintas di hati manusia seperti kita. Suatu tempat yang sangat spesial, unik dan otentik, yang merupakan rahasia Allah atas makhluk-Nya yang bertakwa.

Sebagaimana diberitakan Al-Qur’an, surga memiliki pintu-pintu. Lewat pintu-pintu itulah orang mukmin dari zaman awal hingga zaman akhir, juga Nabi Muhammad saw. beserta umatnya akan berbondong-bondong masuk. Allah berfirman dalam surat Shad, ayat 49-50, “Ini adalah kehormatan (bagi mereka). Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa benar-benar (disediakan) tempat kembali yang baik, (yaitu) surga 'Adn yang pintu-pintunya terbuka bagi mereka.”

Al-Qur’an menceritakan bahwa pintu-pintu surga akan dibuka bilamana orang-orang mukmin telah sampai di sana. Malaikat-malaikat yang menjaganya akan menyambut mereka seraya menyerukan salam kesejahteraan dan kedamaian bagi orang-orang yang memang berhak atas nikmat surga itu.

“Kesejahteraan dilimpahkan atas kalian, berbahagialah kalian! Maka masukilah surga ini sedang kalian kekal di dalamnya,” ujar para malaikat sebagaimana termaktub dalam ayat ke-73, surat Az-Zumar di atas.

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, kata “pintu-pintu yang terbuka” memiliki makna bahwa pintu surga adalah pintu yang membuat penghuninya dapat leluasa masuk dengan lancar ke dalamnya. Mereka juga dapat mondar-mandir di dalamnya. Lewat pintu itu pula, malaikat-malaikat bebas mendatangi mereka dengan membawa hadiah dan rezeki dari Allah swt. dan apa saja yang menggembirakan mereka. Surat Ar-Ra’d ayat ke 24 menyebutkan bahwa para malaikat menyabangi penghuni surga lewat pintu-pintu yang terbuka itu seraya menyerukan salam yang sangat indah, “Salamun Alaikum bima shabartum.”

Demikianlah pintu-pintu surga yang terbuka yang melambangkan keridhaan Allah ketika menyambut makhluk-Nya yang ikhlas, yang menghamba pada-Nya sebagaimana janji yang ditetapkan-Nya. Lalu apa sajakah pintu-pintu surga itu?

Delapan Pintu dan Amalan Khusus

Penjelasan terperinci mengenai pintu-pintu surga tertuang dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah melalui periwayatan Imam Bukhari dan Muslim.

Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa membelanjakan sebagian harta kekayaannya di jalan Allah swt., ia akan dipanggil dari pintu-pintu surga dan surga memiliki delapan buah pintu. Orang yang mengerjakan shalat (secara teratur dan benar) akan dipanggil dari pintu shalat, orang yang sering bersedekah akan dipanggil dari pintu sedekah, orang yang berjihad akan dipanggil dari pintu jihad dan orang yang sering berpuasa secara teratur akan dipanggil dari pintu puasa.”

Abu Bakar lalu bertanya, “Adakah orang yang akan dipanggil dari semua pintu itu, ya Rasulullah?”

Nabi menjawab, “Ada dan kuharap kau salah satu dari mereka.”

Bisa ditarik kesimpulan bahwa di surga ada pintu-pintu khusus yang akan dimasuki orang yang memiliki amal khusus dan menonjol dalam hidupnya. Yang bagus dari segi shalat, meliputi kekhusyuan, kesempurnaan waktu dan rukunnya serta sering melakukan shalat sunnah, maka dia akan memasuki surga lewat pintu shalat. Demikian pula yang ahli sedekah akan masuk lewat pintu sedekah. Seperti juga yang berjihad dan berpuasa. Untuk pintu puasa, Nabi menambahkan keterangan lewat sabdanya:

"Di dalam surga terdapat delapan pintu, salah satunya sebuah pintu yang disebut dengan "ar-Rayyan". Tidak memasuki pintu tersebut kecuali orang-orang yang berpuasa, dan apabila mereka sudah memasukinya, pintu itu akan dikunci lagi, sehingga tidak ada yang masuk lewatnya." Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dari Sahal bin Sa’ad.

Kesimpulan yang juga tampak jelas dari hadits-hadits shahih ini adalah bilangan pintu surga yang berjumlah delapan. Inilah pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf. Empat pintu di antaranya telah disebut Nabi saw. Lalu apakah empat pintu yang lain?

Imam Al-Qurthubi dalam Rahasia Kematian Alam Akhirat dan kiamat, mengutip ucapan Qadhi Iyadh yang berujar, “Dalam hadits tadi, yang disebutkan oleh Muslim baru empat pintu saja. Selebihnya adalah pintu taubat, pintu orang-orang yang menahan amarah, pintu orang-orang yang ridha, dan pintu kanan tempat orang yang masuk surga tanpa hisab.”

Mengenai pintu terakhir yang disebut Qadhi Iyadh, yakni pintu tempat masuk orang yang meraih surga tanpa menjalani hisab terlebih dahulu mendapat konfirmasinya dari hadits shahih Bukhari-Muslim tentang syafaat. Hadits itu dari Abu Hurairah yang berkata bahwa Nabi saw. bersabda, “Allah berfirman, ‘Hai Muhammad, bawalah masuk orang-orang dari umatmu yang tidak perlu dihisab ke dalam surga melalui pintu dibagian kanan surga, sedangkan yang lain dapat masuk dari pintu-pintu yang lain sebagaimana yang dilakukan oleh para penghuni surga lainnya’.”

Sedang mengenai kepastian pintu-pintu yang lain tak didapat keterangan lugasnya. Namun, para ulama meyakini bahwa amal kebajikan manusialah yang menjadi alasan bagi kekhususan pintu-pintu surga itu. Kebajikan itulah hal utama yang membuat seseorang akan masuk surga lewat satu pintu atau dapat melalui pintu yang manapun yang dia kehendaki karena amal perbuatannya memadai untuk lewat di semua pintu surga yang telah disediakan Allah. Beberapa ulama lain berpendapat bahwa pintu surga sebenarnya berjumlah banyak.

Luas dan Ciri Pintu Surga

Sebuah hadits dari Abu Hurairah memberitakan mengenai luasnya pintu surga. Hadits yang merupakan riwayat dari Bukhari, Ahmad, dan Abu Uwanah itu menceritakan bahwa suatu ketika kepada Nabi dihidangkan semangkuk roti yang dimasak dengan daging. Rasulullah lantas menggigit lengan kambing pada bagian yang paling digemarinya dan berujar, “Aku adalah pemimpin manusia pada hari kiamat.” Kata-kata ini diucapkan Nabi sebanyak dua kali yang ternyata dimaksudkan untuk memancing pertanyaan dari para sahabat kenapa hal itu bisa terjadi. Nabi yang mulia itu lalu bercerita bahwa ia datang ke Arsyi, lalu bersujud di hadapan Allah dan Allah menempatkan dirinya pada tempat yang belum pernah ditempati siapa pun sebelumnya dan tak akan ditempati siapa pun sesudahnya.

Kemudian Nabi bertanya mengenai umatnya dan Allah pun berfirman, “Wahai Muhammad masukkan umatmu yang tidak dihisab lewat pintu sebelah kanan. Mereka bebas masuk pintu-pintu lainnya.” Kemudian Nabi pun bersabda, “Demi Muhmmad yang jiwanya ada ditangan-Nya, jarak antara kedua panel daun pintu surga adalah seperti Mekah dan Hajar atau Hajar dan Mekah.”

Hadits ini menjadi pijakan kuat bagi informasi mengenai luas pintu surga yang gaib bagi kita itu. Jarak antara Mekah dan Hajar sendiri diperkirakan berjarak 1160 km. Sedangkan dalam redaksi lain yang juga diyakini keshahihannya, jarak pintu surga adalah seperti Mekah dan Basrah, yakni 1250 km.

Di luar penjelasan ini terdapat beberapa hadits yang dianggap lebih lemah semisal hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-nya yang ia dengar dari Al-Jariri yang berkata bahwa Nabi saw bersabda, “Jarak antara dua daun pintu surga adalah empat puluh tahun. Pada suatu hari, ia penuh sesak.” Sementara itu, hadits lain ada yang menyebut luas antara dua daun pintu surga adalah tujuh puluh tahun perjalanan. Waallahu A’lam.

Mengenai ciri-ciri pintu surga didapat penjelasan dari Walid bin Muslim bahwa pintu-pintu surga itu dapat dilihat oleh manusia. Bagian luar pintu-pintu surga itu dapat dilihat dari dalam dan bagian dalamnya dapat dilihat dari luar. Menurutnya, pintu surga itu dapat berbicara dan orang dapat berbicara dengannya. Pintu-pintu surga juga memahami perkataan seperti, “Bukalah atau tutuplah.”

Ciri pintu surga yang lain adalah memiliki rantai sebagaimana diberitakan Anas bin Malik. Ia menyebut bahwa Nabi pernah berkata, beliaulah yang pertama kali memegang rantai pintu surga dan itu merupakan kebanggaan tinggi yang tak ada kebanggaan lain melebihi itu. Ibnu Uyainah juga menyebut, sebagaimana diriwayatkan Imam Tirmidzi bahwa Nabi saw menyebut rantai itu dipegang beliau dan kemudian digerak-gerakkannya. Demikian sebagaimana ditulis Ibnu a-Qayyim Al-Jauziyyah dalam Tamasya ke Surga.

Selanjutnya ciri pintu surga dianggap bersesuaian dengan keadaan surga yang bertingkat-tingkat. Jadi surga yang lebih tinggi memiliki pintu yang lebih luas dibanding tingkatan surga yang lebih rendah. Secara logis juga diyakini, jika luas surga bermacam-macam maka luas pintunya juga bermacam-macam. Waallahu a’lamu bishawab.
»»  READMORE...

RENUNGAN UNTUK WANITA AGAR MENUTUP AURAT

Di hari akhirat, ada 4 golongan lelaki yang akan ditarik masuk ke Di
Golongan lelaki yang akan ditarik masuk ke dalam neraka

Di akhirat nanti ada 4 golongan lelaki yg akan ditarik masuk ke neraka oleh wanita.
Lelaki itu adalah mereka yg tidak memberikan hak kpd wanita dan tidak menjaga amanah itu. Mereka ialah:

1. Ayahnya
Apabila seseorang yg bergelar ayah tidak mempedulikan anak2 perempuannya di dunia. Dia tidak memberikan segala keperluan agama seperti mengajar solat, mengaji dan sebagainya. Dia membiarkan anak2 perempuannya tidak menutup aurat. Tidak cukup kalau dgn hanya memberi kemewahan dunia sahaja. Maka dia akan ditarik ke neraka oleh anaknya.
(p/s; Duhai lelaki yg bergelar ayah, bagaimanakah hal keadaan anak perempuanmu sekarang?. Adakah kau mengajarnya bersolat & menutup aurat? Pengetahuan agama?.. Jika tidak cukup salah satunya, maka bersedialah utk menjadi bahan bakar neraka jahannam.)

2. Suaminya
Apabila sang suami tidak mempedulikan tindak-tanduk isterinya. Bergaul bebas di pejabat, memperhiaskan diri bukan utk suami tapi utk pandangan kaum lelaki yg bukan mahram. Apabila suami mendiam diri walaupun seorang yg alim di mana solatnya tidak pernah bertangguh, saumnya tidak tinggal, maka dia akan turut ditarik oleh isterinya bersama-sama ke dlm neraka, dan bagi isteri yg suka melihatkan rambut (tidak menutup aurat) selain isteri dan suami juga akan dimasukkan ke neraka kerana tidak memberikan nasihat yang berguna seperti menutup aurat (bukan hanya memakai tudung untuk ke pejabat saja).
(p/s; Duhai lelaki yg bergelar suami, bagaimanakah hal keadaan isteri tercintamu sekarang? Dimanakah dia? Bagaimana akhlaknya? Jika tidak kau menjaganya mengikut ketetapan syari’at, maka terimalah hakikat yg akan sehidup semati bersamanya di ‘taman’ neraka sana.)

3. Abang-abangnya
Apabila ayahnya sudah tiada, tanggungjawab menjaga > maruah wanita jatuh ke bahu abang-abangnya dan saudara lelakinya. Jikalau mereka hanya mementingkan keluarganya sahaja dan adiknya dibiar melencong dari ajaran Islam, tunggulah tarikan adiknya di akhirat kelak.
(p/s; Duhai lelaki yg mempunyai adik perempuan, jgn hanya menjaga amalmu, dan jgn ingat kau terlepas… kau juga akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak…. jika membiarkan adikmu bergelumang dgn maksiat… dan tidak menutup aurat.)

4. Anak2 lelakinya
Apabila seorang anak tidak menasihati seorang ibu perihal kelakuan yg haram di sisi Islam. Bila ibu membuat kemungkaran mengumpat, memfitnah, mengata dan sebagainya. Maka anak itu akan disoal dan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak…. dan nantikan tarikan ibunya ke neraka.
(p/s; Duhai anak2 lelaki…. sayangilah ibumu….. nasihatilah dia jika tersalah atau terlupa…. krn ibu juga insan biasa… x lepas dr melakukan dosa… dan selamatkanlah dia dr menjadi ‘kayu api’ neraka….jika tidak, kau juga akan ditarik menjadi penemannya.)
………. ………. ………. ……… ………

Lihatlah…. betapa hebatnya tarikan wanita bukan sahaja di dunia malah di akhirat pun tarikannya begitu hebat. Maka kaum lelaki yg bergelar ayah/suami/abang atau anak harus memainkan peranan mereka.

Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala :
‘Hai anak Adam, peliharalah diri kamu serta ahlimu dari api neraka di mana bahan bakarnya ialah manusia, jin dan batu-batu…. .’

'Afwan Sahabat Muslimah ada yang tau Perawi Hadits ini?? Apakah Bukhari-Muslim??
Jazakumullaahu khairan katsiiraa :)
»»  READMORE...

PENYEBAB MASUK NERAKA SAQAR



(¯`*•.¸☆♥ Penyebab Masuk Neraka Saqar . ♥☆¸.•*´¯)

بِسْــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

Assalamu'allaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Dalam al-Qur’an disebutkan, bahwa di akhirat nanti manusia terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, disebut ashhâb al-yamîn atau al-maimanah (golongan kanan). Kedua, disebut ashhâb asy-syimâl atau al-masy’amah (golongan kiri). Golongan kanan adalah kelompok manusia yang memperoleh keridhaan Tuhan dan sorga-Nya, dengan berbagai macam bentuk, tingkat dan derajatnya. Sementara golongan kiri, adalah kelompok manusia yang mendapatkan kemurkaan, amarah dan siksa Tuhan serta neraka dengan berbagai macam bentuk dan tingkatnya yang akan menjadi tempat kediaman mereka. Allah swt menyebutkan, bahwa di akhirat nanti penduduk sorga berkesempatan mengunjungi penduduk nereka, dan berdialog dengan penghuninya. Di antaranya, Allah swt sebutkan dalam surat al-Mudatstsir [74]: 40-47.
فِي جَنَّاتٍ يَتَسَاءَلُونَ(40)عَنِ الْمُجْرِمِينَ(41)مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ(42)قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ(43)وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ(44)وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَائِضِينَ(45)وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ(46)حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ(47)
Artinya: “Berada di dalam syurga, mereka tanya menanya (40), Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa (41), "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"(42), Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat (43), Dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin (44), Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya (45), Dan adalah kami mendustakan hari pembalasan (46), Hingga datang kepada kami kematian (47).”
Dalam ayat tersebut Allah ceritakan, bahwa penduduk sorga bertanya kepada penghuni neraka Saqar, tentang sebab mereka berada di dalamnya. Penghuni neraka saqar menjawab, bahwa yang membuat mereka menjadi penghuni neraka Saqar tersebut ada empat hal. Yaitu
1. Kami dahulu tidak termasuk orang yang mengerjakan shalat (Q.S. al-Mudatstsir ayat 43).
Shalat merupakan sebab utama dan pertama yang menyebabkan manusia masuk neraka. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa “Amal pertama yang akan diperiksa Allah swt di akhirat nanti adalah shalat, jika shalatnya baik maka baiklah semua amalnya, namun jika shalatnya jelek maka jeleklah semua amalnya”. Sehingga sangat wajar jika dikatakan Nabi saw, bahwa “Shalat itu adalah tiang agama”.
Penghuni neraka tentu bukan umat Muhammad saw yang tidak shalat saja, melainkan seluruh manusia yang tidak shalat, mulai dari manusia pertama sampai manusia terakhir. Dengan demikian, shalat pada prinsipnya sudah menjadi ibadah pokok setiap umat pada setiap masa dan periode, namun tentu berbeda dalam bentuk dan tata caranya. Sebagai bukti bahwa shalat sudah dijalankan oleh umat terdahulu, ketika nabi Muhammad saw turun dari langit pada peristiwa isra’ mi’raj membawa perintah shalat dari Allah swt sebanyak 50 kali sehari semalam, beberapa kali beliau dicegat oleh nabi Musa as. yang prinsipnya meminta beliau untuk naik kembali menemui Tuhan supaya beban itu dikurangi. Alasan nabi Musa as. adalah bahwa umat Muhammmad saw tidak akan mampu melaksanakannya, karena dahulu umatnya bani Israel yang secara fisik sangat kuat, tidak mampu melaksanakan perintah shalat yang sebanyak itu.
Dalam al-Qur’an juga diceritakan bahwa nabi Sulaiaman as. pernah lalai melaksanakan shalat ‘Ashar, kerena sibuk mengurus kudanya yang cantik. Untuk menebus kelalaiannya itu, dia kemudian melepaskan kuda tersebut dan tidak pernah lagi memiliki kuda sebagai peliharaan ( Q.S. Shad [38]: 32).

2. Kami tidak termasuk orang yang memberi makan orang miskin (Q.S. al-Mudatstsir ayat 44).
Penyebab masuk neraka Saqar kedua adalah tidak memiliki kepedulian terhadap penderitaan orang lain, seperti memberi makan orang miskin. Di sinilah letak keagungan ajaran Islam, bahwa sekalipun seseorang dinilai shalih secara individual, seperti rajin shalat, puasa, dan berbagai ibadah lainnya, namun tidak memiliki kepedulian sosial atau dalam istilah sekarang disebut kesalihan sosial, belum menjadi jaminan seseorang memperoleh sorga Tuhan.
Oleh karena itu, kesalehan individual harus sama dengan kesalehan sosial. Itulah yang dikatakan Allah swt, bahwa penyebab manusia mendapat murka Allah swt dan jauh dari kasih sayang-Nya, adalah ketidakpedulian terhadap orang miskin Q.S al-Ma’un [107]: 1-3). Dan itu juga sebabnya, kenapa salah satu manusia yang dicap celaka adalah yang lalai tentang shalatnya (Q.S. al-Ma’un [107]: 4-6). Maksud lalai di situ adalah lalai terhadap penghayatan akan makna shalat yang dilaksanakannya. Sebab, ibadah mahdhah apapun bentuknya yang dilakukan manusia seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, selalu memiliki makna vertikal yaitu hubungan dengan Allah swt, dan makna horizontal yaitu hubungan dengan sesama manusia. Misalnya, shalat dimulai dengan takbir, mengagungkan Allah swt sebagai bentuk hubungan vertikal, namun akhir shalat adalah salam; mendo’kan orang lain di sekitar kita.
Puasa juga seperti itu, walaupun ia bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt, namun dalam pelaksanaannya adalah menahan haus dan lapar yang kemudian berinplikasi kepada munculnya rasa empati dan ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang miskin. Akhir puasa di tandai dengan pembayaran zakat yang merupakan bentuk nyata kepedulian sosial. Begitulah seterusnya, bahwa semua ibadah yang dikerjakan manusia akan selalau memiliki dua dimensi; dimensi ilâhiyah dan dimensi insâniyah.
3. Dahulu kami termasuk orang yang mengatakan perkataan yang jelek dan tercemar bersama orang yang membicarakannya.(Q.S. al-Mudatstsir ayat 45)
Penyebab ketiga yang menjadikan manusia penghuni neraka Saqar, adalah ikut dalam pembicaraan yang tercemar. Kata al-Khaudh secara harfiyah berarti rusak, tercemar atau buruk. Namun, dalam al-Qur’an terdapat tiga bentuk perkataan yang disebut al-khaudh (tercemar). Pertama, mengatakan Allah swt punya anak (Q.S. az-Zukhruf [43]: 81-83). Kedua, mengatakan bahwa tidak ada kitab suci yang diturunkan kepada para Nabi (Q.S. al-An’am [6]: 9. Dan ketiga, mempermainkan ayat-ayat al-Qur’an (Q.S. an-Nisa’[4]: 140.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata tercemar atau kata kotor (al-khaudh) yang menyebabkan manusia menjadi penghuni neraka saqar adalah menyepelekan ajaran agama, meremehkan serta mempermainkan ayat-ayat Allah swt. Sekarang, banyak pemahaman dalam Islam yang dianggap “nyeleneh” seperti yang dilontarkan saudara-saudara kita dari kelompok-kelompok atau komunitas tertentu. Apakah hal itu termasuk al-khaudh yang akan membawa pelakunya ke dalam neraka Saqar? Wallâhu a’lam.
4. Kami dulu mendustakan hari pembalasan (Q.S. al-Mudatstsir ayat 46)
Penyebab keempat manusia menjadi penghuni saqar, adalah tidak meyakini hari akhirat dan adanya pembalasan. Tidak meyakini bukan saja berarti tidak percaya akan keberadaanya, seperti yang diyakini orang-orang kafir (non muslim). Akan tetapi, seorang yang percaya akan keberadaannya, namun tidak mempersiapkan diri menghadapinya dengan melakukan amal-amal shalih, juga termasuk orang yang mendustakan hari pembalasan.
»»  READMORE...

Sejarah Sholat 5 waktu sudah ditandai sebelum nabi Muhammad SAW

Sejarah Solat Lima Waktu Bermula Sebelum Lahirnya Nabi Muhamad

Subuh
Manusia pertama yang mengerjakan solat subuh ialah Nabi Adam a.s. iaitu ketika baginda keluar dari syurga lalu diturunkan ke bumi. Perkara pertama yang dilihatnya ialah kegelapan dan baginda berasa takut yang amat sangat. Apabila fajar subuh telah keluar, Nabi Adam a.s. pun bersembahyang dua rakaat.
Rakaat pertama: Tanda bersyukur kerana baginda terlepas dari kegelapan malam.
Rakaat kedua: Tanda bersyukur kerana siang telah menjelma.

Zohor
Manusia pertama yang mengerjakan solat Zohor ialah Nabi Ibrahim a.s. iaitu tatkala Allah SWT telah memerintahkan padanya agar menyembelih anaknya Nabi Ismail a.s.. Seruan itu datang pada waktu tergelincir matahari, lalu sujudlah Nabi Ibrahim sebanyak empat rakaat.
Rakaat pertama: Tanda bersyukur bagi penebusan.
Rakaat kedua: Tanda bersyukur kerana dibukakan dukacitanya dan juga anaknya.
Rakaat ketiga: Tanda bersyukur dan memohon akan keredhaan Allah SWT.
Rakaat keempat: Tanda bersyukur kerana korbannya digantikan dengan tebusan kibas.

Asar
Manusia pertama yang mengerjakan solat Asar ialah Nabi Yunus a.s. tatkala baginda dikeluarkan oleh Allah SWT dari perut ikan Nun. Ikan Nun telah memuntahkan Nabi Yunus di tepi pantai, sedang ketika itu telah masuk waktu Asar. Maka bersyukurlah Nabi Yunus lalu bersembahyang empat rakaat kerana baginda telah diselamatkan oleh Allah SWT daripada 4 kegelapan iaitu:
Rakaat pertama: Kelam dengan kesalahan.
Rakaat kedua: Kelam dengan air laut.
Rakaat ketiga: Kelam dengan malam.
Rakaat keempat: Kelam dengan perut ikan Nun.

Maghrib
Manusia pertama yang mengerjakan solat Maghrib ialah Nabi Isa a.s. iaitu ketika baginda dikeluarkan oleh Allah SWT dari kejahilan dan kebodohan kaumnya, sedang waktu itu telah terbenamnya matahari. Bersyukur Nabi Isa, lalu bersembahyang tiga rakaat kerana diselamatkan dari kejahilan tersebut iaitu:
Rakaat pertama: Untuk menafikan ketuhanan selain daripada Allah yang Maha Esa.
Rakaat kedua: Untuk menafikan tuduhan dan juga tohmahan ke atas ibunya Siti Mariam yang telah dituduh melakukan perbuatan sumbang.
Rakaat ketiga: Untuk meyakinkan kaumnya bahawa Tuhan itu hanya satu iaitu Allah SWT semata-mata, tiada dua atau tiganya.

Isyak
Manusia pertama yang mengerjakan solat Isyak ialah Nabi Musa a.s.. Pada ketika itu, Nabi Musa telah tersesat mencari jalan keluar dari negeri Madyan, sedang dalam dadanya penuh dengan perasaan dukacita. Allah SWT menghilangkan semua perasaan dukacitanya itu pada waktu Isyak yang akhir. Lalu sembahyanglah Nabi Musa empat rakaat sebagai tanda bersyukur.
Rakaat pertama: Tanda dukacita terhadap isterinya.
Rakaat kedua: Tanda dukacita terhadap saudaranya Nabi Harun.
Rakaat ketiga: Tanda dukacita terhadap Firaun.
Rakaat keempat: Tanda dukacita terhadap anak Firaun
»»  READMORE...

TANDA SEMAKIN DEKATNYA HARI KIAMAT

╰☆╮TANDA SEMAKIN DEKATNYA HARI AKHIR,
ALAT-ALAT MUSIK, DAN MINUMAN KERAS MENGANGGAPNYA HALAL,DAN JUGA BER-LOMBA-LOMBA MENGHIASI MASJID,╰☆╮



MERAJALELANYA AL-MA'AZIF (ALAT-ALAT MUSIK) DAN MENGHALALKANNYA

[[ Al-Ma’aazif adalah alat-alat yang melalaikan seperti kecapi, rebab, gendang, dan setiap alat per-mainan yang dibunyikan Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits (III/230 ]]

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa’d Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَكُونُ فِـي آخِرِ الزَّمَانِ خَسْفٌ وَقَذْفٌ وَمَسْخٌ قِيْلَ: وَمَتَى ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْقَيْنَاتُ.

“Di akhir zaman nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan dirubah rupanya.” Beliau ditanya, “Kapankah hal itu terjadi wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Ketika alat-alat musik dan para penyanyi telah merajalela.”

[[ HR. Ibnu Majah dalam Sunannya sebagian dari awalnya (II/1350) tahqiq Muhammad Fu-ad ‘Abdul Baqi ]]

Tanda-tanda Kiamat ini telah banyak bermunculan pada zaman-zaman sebelumnya, dan sekarang lebih banyak lagi. Alat-alat musik telah muncul di zaman ini dan menyebar dengan penyebaran yang sangat luas serta banyak para biduan dan biduanita. Merekalah yang diisyaratkan dalam hadits ini dengan ungkapan “الْقَيْنَـاتُ (para penyanyi).”

Lebih dahsyat lagi adalah penghalalan alat-alat musik yang dilakukan oleh sebagian manusia. Telah datang ancaman bagi orang yang melakukan hal itu dengan dirubah rupanya, dilempari batu dan ditenggelamkan ke dalam bumi, sebagaimana dijelaskan dalam hadits terdahulu. Telah tetap dalam Shahiih al-Bukhari rahimahullah, beliau berkata, Hisyam bin ‘Ammar berkata, Shadaqah bin Khalid meriwayatkan kepada kami (kemudian beliau membawakan sanad yang sampai kepada Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, bahwasanya beliau mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda):

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ يَعْنِي -الْفَقِيرَ- لِحَاجَةٍ فَيَقُولُونَ: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا، فَيُبَيِّتُهُمُ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِيْـنَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.

“Akan datang pada umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina sutra, khamr (minuman keras) dan alat musik, dan sungguh akan menetap beberapa kaum di sisi gunung, di mana (para pengembala) akan datang kepada mereka dengan membawa gembalaannya, datang kepada mereka -yakni si fakir- untuk sebuah keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah menghancurkan mereka pada malam hari, menghancurkan gunung dan merubah sebagian mereka menjadi kera dan babi sampai hari Kiamat.”

[[ Shahiih al-Bukhari, kitab al-Asyrubah, bab Ma Jaa-a fiiman Yastahillul Khamra wa Yusammihi bighairi Ismihi (X/51, al-Fat-h ]]

Ibnu Hazm rahimahullah [4] menyangka bahwa hadits ini Munqathi, tidak bersambung (sanadnya) antara al-Bukhari dan Shadaqah bin Khalid [5]. Al-Allamah Ibnul Qayyim membantahnya dan beliau menjelaskan bahwa yang

[[ Beliau adalah al-‘Allamah al-Hafizh Muhammad bin ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm al-Andalusi al-Qurthubi, salah seorang imam madzhab az-Zhahiri. Beliau adalah orang yang banyak mentakwil dalam masalah ushul, ayat-ayat sifat dan hadits-haditsnya. Beliau banyak mengarang kitab tentang madzhab-madzhab ulama, aliran-aliran dalam agama, fiqih, ushul fiqh, biografi para ulama, dan sejarah. Wafat pada tahun 456 H rahimahullah.
Lihat biografinya dalam al-Bidaayah wan Nihaayah (XII/91-92), karya Ibnu Katsir, dan Syadzaraatudz Dzahab fi Akhbaari man Dzahab (III/229-300).
[5]. Lihat kitab al-Muhallaa, karya Ibnu Hazm (IX/59) tahqiq Ahmad Syakir, terbitan al-Maktabah at-Tijaari lith Thiba’ah wan Nasyr, Beirut ]]

diungkapkan oleh Ibnu Hazm tidak benar dari enam sisi:[6]
[[ Lihat Tahdziibus Sunan (V/270-272). ]]

a. Sesungguhnya al-Bukhari telah bertemu dengan Hisyam bin ‘Ammar, dan mendengarkan (riwayat) dari beliau. Jika beliau meriwayatkan secara ‘An’anah, maka hal itu dianggap bersambung berdasarkan kesepakatan, karena sezaman dan mendengar langsung, lalu jika ia berkata, “Hisyam berkata”, maka sama sekali tidak ada bedanya dengan ungkapan “Diriwayatkan dari Hisyam.”

b. Sesungguhnya orang-orang tsiqah telah meriwayatkan dari Hisyam secara maushul (bersambung). Al-Isma’ili berkata da-lam Shahiihnya, “Al-Hasan mengabarkan kepadaku, Hisyam bin ‘Ammar meriwayatkan kepadaku,” dengan sanad dan matannya.

c. Sesungguhnya hadits ini telah diriwayatkan dengan jalan yang shahih selain hadits Hisyam. Al-Isma’ili dan ‘Utsman Abi Syaibah meriwayatkan dengan dua sanad lain yang sampai kepada Abu Malik al-Asy’ari Radhiyallahu anhu.

d. Imam al-Bukhari, jika (dikatakan) beliau tidak pernah bertemu dengan Hisyam atau tidak pernah mendengar darinya, maka yang beliau lakukan memasukkan hadits ini dalam Shahiihnya dan meyakininya, menunjukkan bahwa hadits ini benar-benar dari Hisyam. Adapun beliau tidak menyebutkan pelantara antara dirinya dengan Hisyam bisa karena me-reka sudah dikenal atau banyaknya periwayatan dari mereka maka ri-wayat ini sudah sangat dikenal dari Hisyam.

e. Sesungguhnya jika al-Bukhari berkata dalam ash-Shahiihnya, “Fulan berkata,” maka maknanya adalah hadits tersebut shahih menurutnya.

f. Sesungguhnya al-Bukhari mengungkapkan hadits ini sebagai hujjah. Dimasukkan dalam Shahiihnya sebagai landasan pokok dan bukan sebagai penguat.

Maka kesimpulannya hadits ini tidak diragukan keshahihannya.

Ibnu Shalah rahimahullah [7] berkata, “Tidak perlu melihat pendapat Ibnu Hazm azh-Zhahiri al-Hafizh dalam penolakannya terhadap apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik.” Lalu beliau menyebutkan haditsnya.

[[ Dia adalah al-Imam al-Muhaddits al-Hafizh Abu ‘Amr ‘Utsman bin ‘Abdirrah-man asy-Syahruzuri, yang tekenal dengan sebutan Ibnu Shalah, ia adalah ahli ibadah, ahli zuhud, orang yang sangat wara’ berjalan di atas jalan Salafush Shalih, beliau memiliki banyak karya tulis dalam masalah hadits dan fiqih, melaksanakan tugas mengajar di Darul Hadits Damaskus, dan wafat pada tahun 634 H rahimahullah.
Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (XIII/168), Syadzaraatudz Dzahab (V/221-222) ]]

Kemudian beliau berkata, “Dan hadits ini shahih, ketersambungan sanadnya dikenal dengan syarat periwayatan ash-Shahiih. Al-Bukhari rahimahullah terkadang melakukan hal itu karena hadits tersebut dikenal dari segi ketsiqahan orang yang dita’liqnya. Beliau terkadang melakukan hal itu karena hadits tersebut juga diutarakan pada pembahasan lain di kitabnya dengan menyebutkan sanadnya yang bersambung. Beliau pun terkadang melakukan hal itu karena sebab lain yang intinya hadits tersebut tidak mengandung cacat terputusnya sanad, wallaahu a’lam.[8]

[[ Muqaddimah Ibni Shalah fi ‘Uluumil Hadiits (hal. 32), cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, th. 1398 H, dan lihat Fat-hul Baari (X/52) ]]

Kami memperpanjang pembahasan hadits ini karena sebagian orang bergantung kepada pendapat Ibnu Hazm, dan berhujjah dengannya untuk membolehkan alat musik. Sementara telah jelas bahwa hadits-hadits yang melarangnya adalah shahih, bahkan umat diancam dengan siksaan ketika alat-alat musik bermunculan dan kemaksiatan dilakukan.

<> BANYAKNYA PEMINUM KHAMR (MINUMAN KERAS) DAN MENGANGGAPNYA HALAL <>

Telah merebak di umat ini peminum-peminum khamr, dan menamakannya dengan selain namanya, lebih jelek lagi adalah sebagian manusia ada yang menghalalkannya. Ini adalah salah satu di antara tanda-tanda Kiamat. Imam Muslim rahimahukllah meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ... (وَذَكَرَ مِنْهَا) وَيُشْرَبُ الْخَمْرُ...

‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah… (lalu beliau menyebutkan di antaranya:) Dan diminumnya khamr....’” [1]

[[ Shahiih Muslim, kitab al-‘Ilmi, bab Raf’ul ‘Ilmi wa Qabdhahu wa Zhuhuurul Jahli wal Fitan fi Aakhiriz Zamaan (XVI/221, Syarh an-Nawawi) ]]

Telah berlalu penyebutan beberapa hadits tentangnya pada pembahasan tentang alat-alat musik. Di dalamnya dijelaskan bahwa akan ada pada umat ini orang yang menghalalkan meminum khamr.

Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad juga Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin ash-Shamit Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيَسْتَحِلَّنَّ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ بِاسْمٍ يُسَمُّونَهَا إِيَّاهُ.

‘Sungguh, akan ada sekelompok dari umatku yang menghalalkan khamr, (mereka menamakannya) dengan nama yang mereka tetapkan untuknya.’”[2]

[[ Musnad Ahmad (V/318, dengan catatan pinggir Kanzul ‘Ummal), dan Sunan Ibni Majah (II/1123).
Ibnu Hajar berkata dalam al-Fat-h (X/51), “Sanadnya jayyid.”
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (V/13-14, no. 4945). ]]

Khamr telah diberi nama dengan nama yang bermacam-macam, bahkan ada yang menamakannya dengan minuman penyegar jiwa dan yang serupa dengannya.

Juga hadits-hadits lain yang menjelaskan bahwa meminum khamr akan menyebar luas pada umat ini, dan sungguh, di antara mereka ada yang meng-halalkannya dan merubah dengan nama yang bermacam-macam.
Ibnul ‘Arabi rahimahullah menafsirkan ungkapan “menganggapnya halal” dengan dua penafsiran:

Pertama : Meyakini bahwa meminum khamr halal hukumnya.

Kedua : Maknanya adalah terbiasa meminumnya sebagaimana mereka biasa meminum yang halal.

Beliau (Ibnu Shalah) menuturkan bahwa beliau mendengar dan melihat orang yang melakukan hal itu.[3]

[[Lihat Fat-hul Baari (X/15) ]]


Hal tersebut lebih banyak lagi di zaman kita saat ini. Dan sungguh sebagian orang telah terfitnah dengan meminumnya.

Dan yang lebih dahsyat lagi adalah menjual dan meminumnya secara terang-terangan, di sebagian negeri Islam, juga penyebaran narkoba dengan sangat pesat yang belum ada bandingan pada zaman sebelumnya. Semua ini harus diwaspadai (diperingatkan) karena menimbulkan bahaya dan kerusakan yang besar. Hanya milik Allah segala urusan sebelum dan sesudahnya.

<> BERLOMBA-LOMBA MENGHIASI MASJID DAN BERBANGGA-BANGGA DENGANNYA <>

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ.

“Tidak akan tiba Kiamat hingga manusia saling berbangga-bangga dengan masjidnya.” [1]

[[ Musnad Ahmad (III/134, dengan catatan pinggir Muntakhab Kanz).
Syaikh al-Albani berkata, “Shahih.” Lihat Shahiihul Jaami (VI/174, no. 7294) ]]

Dalam riwayat an-Nasa-i juga Ibnu Majah dari beliau (Anas) Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ.

“Di antara tanda-tanda Kiamat adalah manusia saling berbangga-bangga dengan masjid.” [2]

[[ Sunan an-Nasa-i (II/32, Syarh as-Suyuthi).
Syaikh al-Albani berkata, “Shahih,” lihat Shahiihul Jaami’ (V/213, no. 5771).
Dan Shahiih Ibni Khuzaimah (II/281, no. 1322-1323) tahqiq Dr. Muhammad Mushthafa al-A’zhami, beliau berkata, “Isnadnya shahih.”]]

Al-Bukhari berkata, Anas berkata, ‘Berbangga-bangga dengannya kemudian tidak memakmurkannya (mengisinya dengan berbagai macam ibadah-ed.) kecuali sedikit saja, maka makna dari berbangga-bangga dengannya adalah hanya memperhatikan hiasannya saja. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Sungguh kalian akan menghiasinya sebagaimana dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani (menghias tempat ibadah mereka).’” [3]

[[ Shahiih al-Bukhari, kitab ash-Shalaah, bab Bun-yaanul Masjid (I/539, al-Fat-h) ]]

‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah melarang menghiasi masjid karena hal itu bisa menghilangkan konsentrasi (kekhusu’an) bagi orang yang sedang melakukan shalat. Beliau berkata ketika memerintahkan untuk memperbaharui pembangunan Masjid Nabawi:

أَكِنَّ النَّاسَ مِنَ الْمَطَرِ، وَإِيَّاكَ أَنْ تُحَمِّرَ أَوْ تُصَفِّرَ فَتَفْتِنَ النَّاسَ.

“Tutupilah orang-orang dari air hujan, dan janganlah kalian menghiasinya dengan warna merah atau warna kuning, sehingga orang-orang terganggu dengannya.” [4]

[[ Lihat Shahiih al-Bukhari (I/539, al-Fath).]]

Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepada ‘Umar; karena terbukti orang-orang tidak memegang wasiatnya, mereka bukan saja memberikan warna merah dan warna kuning, akan tetapi mereka menghiasinya sebagaimana mereka menghiasai pakaian. Para raja juga khalifah berbangga-bangga membangun masjid dan menghiasinya hingga mereka melakukan sesuatu yang sangat mencengangkan. Masjid-masjid itu tetap tegak sampai saat ini, sebagaimana terdapat di Syam, Mesir, negeri-negeri Maghrib (Maroko), Andalusia dan yang lainnya, dan hingga saat ini kaum muslimin senantiasa berbangga-bangga dalam menghiasi masjid.

Tidak diragukan lagi bahwa menghiasi masjid merupakan ciri sikap boros. Sedangkan meramaikannya hanyalah dengan melakukan ketaatan dan dzikir kepada Allah di dalamnya. Cukuplah bagi manusia membuat sesuatu yang dapat melindunginya dari panas, dingin, dan hujan.

Telah datang ancaman dengan kehancuran ketika masjid dihiasi dan al-Qur-an diperindah (dengan berbagai corak). Al-Hakim dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abud Darda Radhiyallahu anhu, dia berkata:

إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ، وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ، فَالدِّمَارُ عَلَيْكُمْ.

“Jika kalian menghiasi masjid-masjid dan mushhaf kalian, maka kehancuranlah yang akan menimpa kalian.” [5]

[[ Shahiih al-Jaami’ish Shagiir (I/220, no. 599), dan Syaikh al-Albani berkata, “Sanadnya hasan.”
Diungkapkan dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (III/337, no. 1351). Hadits tersebut di-riwayatkan oleh al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam al-Akyaas wal Mughtarriin (hal. 78, Manuskrip azh-Zhahiriyah) dari Abud Darda secara marfu’.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak dengan perubahan susunan yang awal ada di akhir dan yang akhir ada di awal dalam az-Zuhd (hal. 275, no. 797) tahqiq Habiburrahman al-A’zhami.
Al-Albani menyebutkan sanad Ibnul Mubarak dalam as-Silsilah, dan beliau berkata, “Perawi sanad ini tsiqah, perawi Muslim. Akan tetapi saya tidak mengetahui apakah Bakar bin Sawadah (riwayat dari Abud Darda) mendengar dari Abud Darda atau tidak?”
Al-Baghawi menuturkannya dalam Syarhus Sunnah (II/350) dan menisbatkannya kepada Abud Darda.
As-Suyuthi menyambungkannya dalam al-Jaami’ush Shaghiir (hal. 27) kepada al-Hakim dari Abud Darda, dan memberikan lambang dengan ضَعِيْفُ (lemah), demikian pula al-Munawi melemahkannya dalam Faidhul Qadiir (I/367, no. 658) ]]

Al-Munawi rahimahullah [6] berkata, “Menghiasi masjid dan mushhaf adalah sesuatu yang dilarang, karena hal itu bisa menyibukkan hati, dan menghilangkan kekhusyu’an dari bertadabbur dan hadirnya hati dengan mengingat Allah Ta’ala. Madzhab asy-Syafi’i berpendapat bahwa menghiasi masjid -walaupun Ka’bah- dengan emas atau perak diharamkan secara mutlak, adapun dengan selain keduanya hukumnya adalah makruh.” [7]

[6]. Beliau adalah Zainuddin Muhammad bin ‘Abdurrauf bin Tajul ‘Arifin bin ‘Ali bin Zainal ‘Abidin
al-Haddadi al-Manawi. Beliau memiliki delapan puluh karya tulis, sebagian besar dalam masalah hadits, biografi dan sejarah, wafat di Kairo tahun 1031 H t.
Lihat al-A’laam (VI/204).
[7]. Faidhul Qadiir (I/367).

Oleh
Dr. Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil

[Disalin dari kitab Asyraathus Saa'ah, Penulis Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Wabil, Daar Ibnil Jauzi, Cetakan Kelima 1415H-1995M, Edisi Indonesia Hari Kiamat Sudah Dekat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
»»  READMORE...

KISAH HAMZAH DAN UMAR MASUK ISLAM



Saat Hamzah dan ‘‘Umar bin Al-Khaththab masuk Islam, posisi kaum muslimin di Makkah bertambah kuat. Namun upaya kaum musyrikin untuk menghentikan dakwah Rasulullah tidak semakin kendor. Melalui paman Nabi, kaum musyrikin meminta Rasulullah menghentikan dakwahnya. Namun upaya ini pun gagal. Akibatnya, penindasan terhadap kaum muslimin semakin menjadi-jadi.

Abu Jahl semakin hebat memusuhi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin. Suatu kali dia bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diapun mencaci maki dan menyakiti beliau. Namun tindakannya itu tidak digubris oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak berbicara sepatah katapun kepadanya. Ternyata ada salah seorang maula (budak) dari ‘Abdullah bin Jud’an mendengar hal ini. Diapun sengaja menyingkir ke balai pertemuan Quraisy di dekat Ka’bah dan duduk bersama mereka. Tak lama kemudian datanglah Hamzah bin ‘Abdul Muththalib sambil menenteng panahnya. Agaknya dia baru pulang berburu.

Dan Hamzah apabila pulang berburu tidak langsung ke rumah keluarganya, namun melakukan thawaf di Ka’bah (lebih dulu). Dia termasuk pemuda bangsawan Quraisy dan berwatak keras. Ketika dia melewati maula tersebut dan waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah pulang ke rumahnya, dia (budak tersebut) berkata: “Hai Abu ‘Imarah, seandainya kau melihat apa yang dilakukan Abul Hakam bin Hisyam terhadap ponakanmu, yang dia lihat duduk di sini kemudian dia menyakitinya, mencaci maki dan mencercanya. Kemudian dia pergi dan Muhammad sama sekali tidak berbicara dengannya sepatah katapun.”

Mendengar keterangan ini, Hamzah tidak dapat menahan marahnya, di mana juga Allah memang menghendaki kemuliaan baginya. Hamzah segera keluar dan tidak menyapa siapapun, padahal setiap dia melewati tempat pertemuan itu dia senantiasa berbincang-bincang dengan orang yang ada di sana. Sekarang dia keluar sengaja mencari Abu Jahl untuk memberi pelajaran keras kepadanya.

Ketika Hamzah memasuki masjid dan melihat Abu Jahl duduk dengan beberapa orang, dia sengaja mendekatinya. Setelah dekat dengan Abu Jahl, Hamzah segera memukul kepalanya dengan anak panah yang ada di tangannya sampai berdarah dan berkata: “Kau berani mencaci makinya? Aku di atas agamanya, akupun mengucapkan apa yang diucapkannya. Coba balas, kalau kau berani!”

Beberapa orang yang ada di dekat Abu Jahl dari Bani Makhzum segera berdiri mengepung Hamzah karena ingin membela Abu Jahl. Tapi Abu Jahl berkata: “Tinggalkan Abu ‘Imarah, aku -demi Allah- benar-benar sudah mencaci maki keponakannya dengan umpatan yang sangat buruk.”

Sejak itu keislaman Hamzah mulai berkembang sempurna. Dan orang-orang kafir Quraisy mulai menyadari bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah kuat dan mempunyai pembela. Mereka pun mulai mengurangi penindasan mereka terhadap beliau dan para shahabatnya.

Sebagian ahli sejarah menceritakan setelah mengucapkan kata-katanya di depan Abu Jahl itu, Hamzah sempat menyesal dan bingung, kemudian dia berdo’a kepada Allah di sisi Ka’bah. Akhirnya setelah merasa lega dia segera menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan keadaannya. Dan beliaupun mendoakan agar Allah mengokohkan Hamzah dalam keyakinannya.

‘‘Umar Masuk Islam
Dikisahkan dari riwayat Anas yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, menyebutkan:

Pada suatu hari ‘‘Umar keluar dengan menyandang sebilah pedang. Di tengah jalan dia bertemu dengan seorang laki-laki dari Bani Zuhrah dan dia berkata: “Akan ke mana engkau, hai ‘‘Umar?”
‘Umar ketika itu menjawab: “Mau membunuh Muhammad.”
Laki-laki itu berkata lagi: “Bagaimana engkau dapat merasa aman dari Bani Hasyim dan Bani Zuhrah setelah membunuh Muhammad?”
‘Umar berkata pula: “Mungkin engkau sendiri sudah menukar agamamu?”

Orang itu menukas: “Maukah kau aku tunjukkan kejadian yang lebih menakjubkan? Sesungguhnya saudarimu dan iparmu sudah memeluk Islam dan meninggalkan agama nenek moyangmu.”
Mendengar hal ini, ‘Umar segera berbalik dan menuju ke rumah saudari dan iparnya yang kebetulan Khabbab sedang berada di sana. Ketika mereka mendengar suara ‘Umar, dia segera bersembunyi di dalam rumah. ‘Umar pun masuk dan berkata: “Suara apa yang kudengar ini?” Waktu itu mereka sedang membaca surat Thaha.

Keduanya berkata: “Tidak ada, hanya kami berbincang-bincang biasa.”

Kata ‘Umar: “Jangan-jangan kalian berdua sudah masuk Islam?”
Iparnya menjawab: “Hai ‘Umar, bagaimana jika al-haq itu ternyata bukan berada pada agamamu?”

Mendengar hal ini ‘Umar melompat kemudian membanting dan menginjaknya dengan keras. Saudarinya segera datang membela suaminya. Tapi ‘Umar segera memukulnya hingga darah keluar dari wajah saudarinya itu. Wanita itu berkata dalam keadaan sangat marah: “Apakah (kau marah) meskipun al-haq bukan berada pada agamamu? Sungguh aku bersaksi tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.”

(Mungkin karena merasa iba), ‘Umar berkata: “Coba berikan tulisan apa yang ada pada kalian, aku mau membacanya.” ‘Umar termasuk kalangan terpelajar dan pandai membaca.

Saudarinya menjawab: “Kamu itu najis. Kitab ini tidak boleh disentuh oleh orang yang najis. Pergilah bersuci!”

‘Umar pun beranjak untuk mandi. Kemudian dia mulai membaca surat Thaha. sampai kepada ayat:

إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“Sesungguhnya Aku adalah Allah yang tidak ada Ilah selain Aku. Maka beribadahlah kepada-Ku dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)

‘Umar berkata: “Tunjukkanlah kepadaku di mana Muhammad!”
Ketika Khabbab mendengar hal ini, dia segera keluar dari tempat persembunyiannya dan berkata: “Gembiralah, hai ‘Umar. Aku berharap engkaulah yang didoakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Ya Allah, muliakanlah Islam dengan ‘Umar bin Al-Khaththab atau ‘Amru bin Hisyam’.”( HR. At-Tirmidzi kata beliau gharib dan An-Nadhr Abu ‘Umar kata Al-Imam Al-Bukhari dia munkarul hadits. ).

Waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berada di sebuah rumah di dekat bukit Ash-Shafa. ‘Umar segera berangkat ke sana. Dan bertepatan pula di rumah itu ada Hamzah, Thalhah dan beberapa orang lain. Hamzah berkata: “Ini ‘Umar datang. Kalau Allah menginginkan kebaikan buat dia, maka dia selamat. Dan kalau tidak, membunuhnya sangat mudah bagi kita.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalam, kemudian beliau diberitahu lalu keluar.

Begitu ‘Umar masuk, beliau segera mencengkeram pakaian dan pedang ‘Umar sambil berkata: “Apakah engkau belum juga mau berhenti, hai ‘Umar sampai Allah menurunkan kehinaan bagimu sebagaimana yang dialami oleh Al-Walid bin Mughirah?!”

‘Umar segera berkata: “Aku bersaksi tidak ada ilah selain Allah dan engkau (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”

Ibnu Ishaq mengatakan: “Setelah ‘Umar masuk Islam, para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa mendapat pertolongan. Begitu juga halnya ketika Hamzah masuk Islam.”
Ibnu Mas’ud mengatakan: “Kami tidak pernah mampu shalat di sisi Ka’bah hingga ‘Umar masuk Islam.”

Di dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan: “Kami senantiasa merasa terhormat sejak ‘Umar masuk Islam.”

Melihat urusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin bertambah kokoh, mereka (orang-orang musyrikin) pun sekali lagi menemui Abu Thalib agar dia membujuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkata: “Hai Abu Thalib. Sesungguhnya engkau mempunyai usia yang cukup berpengalaman, kedudukan dan kemuliaan. Dan kami pernah meminta kepadamu agar menghentikan anak saudaramu tapi ternyata tidak engkau lakukan. Dan demi Allah, kami tidak bisa bersabar lagi melihat dia mencaci maki nenek moyang kami, membodoh-bodohi pemuka kami dan mencela sesembahan kami, sampai engkau menahannya dari kami atau engkau dan dia kami hadapi sampai salah satu dari kita binasa. (Atau sebagaimana dikatakan mereka).

Hal ini sangat memberatkan Abu Thalib, di mana dia harus berpisah dan bermusuhan dengan kaumnya. Dia pun menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai anak saudaraku. Kaummu menemuiku dan mengatakan inidan itu. Sekarang tinggallah engkau dan aku saja. Dan janganlah kau bebankan aku sesuatu yang tidak sanggup aku memikulnya.”

Ketika itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyangka barangkali pamannya telah melihat sesuatu. Dan mungkin dia sudah merasa tidak sanggup membela beliau dan akan menyerahkannya ke tangan Quraisy. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Hai pamanku. Demi Allah seandainya mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku menghentikan dakwah ini, maka selamanya aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah sendiri yang akan memenangkan agama ini atau aku binasa karenanya.”

Kemudian beliau berpaling dan menangis, lalu berdiri. Dan ketika beliau beranjak pergi, Abu Thalib memanggilnya: “Menghadaplah ke mari, hai anak saudaraku. Menghadaplah!” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menghadap ke pamannya. Abu Thalib bekata: “Menghadaplah, dan katakanlah apapun yang engkau sukai. Demi Allah aku tidak akan menyerahkan engkau kepada siapapun selama-lamanya.”

Melihat bahwa Abu Thalib juga tidak mampu menghentikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merekapun bertambah sengit memusuhi kaum muslimin. Setiap kabilah menangkap orang dari pihak mereka yang masuk Islam untuk disiksa. Wallahu Ta’ala A’lamu bish showwab

Barakallahu fiikum wa jazakumullah khairan khatsir,,
.Salam Silaturrahim dan Ukhuwah Islamiyyah.

والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

»»  READMORE...

ISRA MI'RAJ DAN SAINS



السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Isra’ mi’raj bukanlah kisah perjalanan antariksa. Aspek astronomis sama sekali tidak ada dalam kajian Isra’ mi’raj. Namun, Isra’ mi’raj mengusik keingintahuan akal manusia untuk mencari penjelasan ilmu. Aspek aqidah dan ibadah berintegrasi dengan aspek ilmiah dalam membahas Isra’ mi’raj. Inspirasi saintifik Isra’ Mi’raj mendorong kita untuk berfikir mengintegrasikan sains dalam aqidah dan ibadah.

Mari kita mendudukkan masalah Isra’ mi’raj sebagai mana adanya yang diceritakan di dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits shahih. Kemudian sekilas kita ulas kesalahpahaman yang sering terjadi dalam mengaitkan Isra’ mi’raj dengan kajian astronomi. Hal yang juga penting dalam mengambil hikmah peringatan Isra’ mi’raj adalah menggali inspirasi saintifik yang mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah.

Kisah dalam Al-Qur’an dan Hadits

Di dalam QS. Al-Isra’:1 Allah menjelaskan tentang Isra’: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Dan tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18: “Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada surga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”

Sidratul muntaha secara harfiah berarti ‘tumbuhan sidrah yang tak terlampaui’, suatu perlambang batas yang tak seorang manusia atau makhluk lainnya bisa mengetahui lebih jauh lagi. Hanya Allah yang tahu hal-hal yang lebih jauh dari batas itu. Sedikit sekali penjelasan dalam Al-Qur’an dan hadits yang menerangkan apa, di mana, dan bagaimana sidratul muntaha itu.

Kejadian-kejadian sekitar Isra’ dan mi’raj dijelaskan di dalam hadits-hadits nabi. Dari hadits-hadits yang shahih, didapati rangkaian kisah-kisah berikut. Suatu hari malaikat Jibril datang dan membawa Nabi, lalu dibedahnya dada Nabi dan dibersihkannya hatinya, diisinya dengan iman dan hikmah.

Kemudian didatangkan Buraq, ‘binatang’ berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata. Dengan Buraq itu Nabi melakukan Isra’ dari Masjidil Haram di Mekkah ke Masjidil Aqsha (Baitul Maqdis) di Palestina. Nabi SAW shalat dua rakaat di Baitul Maqdis, lalu dibawakan oleh Jibril segelas khamr (minuman keras) dan segelas susu; Nabi SAW memilih susu. Kata malaikat Jibril, “Engkau dalam kesucian, sekiranya kau pilih khamr, sesatlah umat engkau.”

Dengan Buraq pula Nabi SAW melanjutkan perjalanan memasuki langit dunia. Di sana dijumpainya Nabi Adam yang di kanannya berjejer para ruh ahli surga dan di kirinya para ruh ahli neraka. Perjalanan diteruskan ke langit ke dua sampai ke tujuh. Di langit ke dua dijumpainya Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ke tiga ada Nabi Yusuf. Nabi Idris dijumpai di langit ke empat. Lalu Nabi SAW bertemu dengan Nabi Harun di langit ke lima, Nabi Musa di langit ke enam, dan Nabi Ibrahim di langit ke tujuh. Di langit ke tujuh dilihatnya Baitul Ma’mur, tempat 70.000 malaikat shalat tiap harinya, setiap malaikat hanya sekali memasukinya dan tak akan pernah masuk lagi.

Perjalanan dilanjutkan ke Sidratul Muntaha. Dari Sidratul Muntaha didengarnya kalam-kalam (‘pena’). Dari sidratul muntaha dilihatnya pula empat sungai, dua sungai non-fisik (bathin) di surga, dua sungai fisik (dhahir) di dunia: sungai Efrat dan sungai Nil. Lalu Jibril membawa tiga gelas berisi khamr, susu, dan madu, dipilihnya susu. Jibril pun berkomentar, “Itulah (perlambang) fitrah (kesucian) engkau dan umat engkau.” Jibril mengajak Nabi melihat surga yang indah. Inilah yang dijelaskan pula dalam Al-Qur’an surat An-Najm. Di Sidratul Muntaha itu pula Nabi melihat wujud Jibril yang sebenarnya.

Puncak dari perjalanan itu adalah diterimanya perintah shalat wajib. Mulanya diwajibkan shalat lima puluh kali sehari-semalam. Atas saran Nabi Musa, Nabi SAW meminta keringanan dan diberinya pengurangan sepuluh-sepuluh setiap meminta. Akhirnya diwajibkan lima kali sehari semalam. Nabi enggan meminta keringanan lagi, “Aku telah meminta keringanan kepada Tuhanku, kini saya rela dan menyerah.” Maka Allah berfirman, “Itulah fardhu-Ku dan Aku telah meringankannya atas hamba-Ku.”

Urutan kejadian sejak melihat Baitul Ma’mur sampai menerima perintah shalat tidak sama dalam beberapa hadits, mungkin menunjukkan kejadian-kejadian itu serempak dialami Nabi. Dalam kisah itu, hal yang fisik (zhahir) dan non-fisik (bathin) bersatu dan perlambang pun terdapat di dalamnya. Nabi SAW yang pergi dengan jasad fisik hingga bisa shalat di Masjidil Aqsha dan memilih susu yang ditawarkan Jibril, tetapi mengalami hal-hal non-fisik, seperti pertemuan dengan para Nabi yang telah wafat jauh sebelum kelahiran Nabi SAW dan pergi sampai ke surga. Juga ditunjukkan dua sungai non-fisik di surga dan dua sungai fisik di dunia. Dijelaskannya makna perlambang pemilihan susu oleh Nabi Muhammad SAW, dan menolak khamr atau madu. Ini benar-benar ujian keimanan, bagi orang mukmin semua kejadian itu benar diyakini terjadinya. Allah Maha Kuasa atas segalanya.

“Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak menjadikan pemandangan yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia….” (QS. 17:60).

“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai aku (kata Nabi SAW), aku berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, aku dapatkan apa yang aku inginkan dan aku jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, aku memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Hakikat Tujuh Langit

Peristiwa Isra’ mi’raj yang menyebut-nyebut tujuh langit mau tak mau mengusik keingintahuan kita akan hakikat langit, khususnya berkaitan dengan tujuh langit yang juga sering disebut-sebut dalam Al-Qur’an. Bila kita dengar kata langit, yang terbayang adalah kubah biru yang melingkupi bumi kita. Benarkah yang dimaksud langit itu lapisan biru di atas sana dan berlapis-lapis sebanyak tujuh lapisan?

Warna biru hanyalah semu, yang dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh partikel-partikel atmosfir. Langit (samaa’ atau samawat) berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran. Dan lapisan-lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda-benda langit sama sekali tidak ada.

Bilangan ‘tujuh’ sendiri dalam beberapa hal di Al-Qur’an tidak selalu menyatakan hitungan eksak dalam sistem desimal. Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Misalnya, di dalam Q.S. Al-Baqarah:261 Allah menjanjikan: “Siapa yang menafkahkan hartanya di jalan Allah ibarat menanam sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai yang masing-masingnya berbuah seratus butir. Allah melipatgandakan pahala orang-orang yang dikehendakinya….” Juga di dalam Q.S. Luqman:27: “Jika seandainya semua pohon di bumi dijadikan sebagai pena dan lautan menjadi tintanya dan ditambahkan tujuh lautan lagi, maka tak akan habis Kalimat Allah….” Jadi ‘tujuh langit’ lebih mengena bila difahamkan sebagai tatanan benda-benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan-lapisan langit.

Lalu, apa hakikatnya langit dunia, langit ke dua, langit ke tiga, … sampai langit ke tujuh dalam kisah Isra’ mi’raj? Mungkin ada orang mengada-ada penafsiran, mengaitkan dengan astronomi. Para penafsir dulu ada yang berpendapat bulan di langit pertama, matahari di langit ke empat, dan planet-planet lain di lapisan lainnya. Kini ada sembilan planet yang sudah diketahui, lebih dari tujuh. Tetapi, mungkin masih ada orang yang ingin mereka-reka. Kebetulan, dari jumlah planet yang sampai saat ini kita ketahui, dua planet dekat matahari (Merkurius dan Venus), tujuh lainnya –termasuk bumi– mengorbit jauh dari matahari.

Pengertian langit dalam kisah Isra’ mi’raj bukanlah pengertian langit secara fisik. Karena, fenomena yang diceritakan Nabi pun bukan fenomena fisik, seperti perjumpaan dengan para Nabi yang hakikatnya telah wafat. Langit dan Sidratul Muntaha dalam kisah Isra’ mi’raj adalah alam ghaib yang tak bisa kita ketahui hakikatnya dengan keterbatasan ilmu manusia. Hanya Rasulullah SAW yang berkesempatan mengetahuinya. Isra’ mi’raj adalah mukjizat yang hanya diberikan Allah kepada Nabi Muhammad SAW.

Perjalanan Keluar Dimensi Ruang Waktu

Isra’ mi’raj jelas bukan perjalanan seperti dengan pesawat terbang antarnegara dari Mekkah ke Palestina dan penerbangan antariksa dari Masjidil Aqsha ke langit ke tujuh lalu ke Sidratul Muntaha. Isra’ Mi’raj adalah perjalanan keluar dari dimensi ruang waktu. Tentang caranya, iptek tidak dapat menjelaskan. Tetapi bahwa Rasulullah SAW melakukan perjalanan keluar ruang waktu, dan bukan dalam keadaan mimpi, adalah logika yang bisa menjelaskan beberapa kejadian yang diceritakan dalam hadits shahih. Penjelasan perjalanan keluar dimensi ruang waktu setidaknya untuk memperkuat keimanan bahwa itu sesuatu yang lazim ditinjau dari segi sains, tanpa harus mempertentangkannya dan menganggapnya sebagai suatu kisah yang hanya dapat dipercaya saja dengan iman.

Kita hidup di alam yang di batas oleh dimensi ruang-waktu (tiga dimensi ruang –mudahnya kita sebut panjang, lebar, dan tinggi –, serta satu dimensi waktu ). Sehingga kita selalu memikirkan soal jarak dan waktu. Dalam kisah Isra’ mi’raj, Rasulullah bersama Jibril dengan wahana “Buraq” keluar dari dimensi ruang, sehingga dengan sekejap sudah berada di Masjidil Aqsha. Rasul bukan bermimpi karena dapat menjelaskan secara detail tentang masjid Aqsha dan tentang kafilah yang masih dalam perjalanan. Rasul juga keluar dari dimensi waktu sehingga dapat menembus masa lalu dengan menemui beberapa Nabi. Di langit pertama (langit dunia) sampai langit tujuh berturut-turut bertemu (1) Nabi Adam, (2) Nabi Isa dan Nabi Yahya, (3) Nabi Yusuf, (4) Nabi Idris, (5) Nabi Harun, (6) Nabi Musa, dan (7) Nabi Ibrahim. Rasulullah SAW juga ditunjukkan surga dan neraka, suatu alam yang mungkin berada di masa depan, mungkin juga sudah ada masa sekarang sampai setelah kiamat nanti.

Sekadar analogi sederhana perjalanan keluar dimensi ruang waktu adalah seperti kita pergi ke alam lain yang dimensinya lebih besar. Sekadar ilustrasi, dimensi 1 adalah garis, dimensi 2 adalah bidang, dimensi 3 adalah ruang. Alam dua dimensi (bidang) dengan mudah menggambarkan alam satu dimensi (garis). Demikian juga alam tiga dimensi (ruang) dengan mudah menggambarkan alam dua dimensi (bidang). Tetapi dimensi rendah tidak akan sempurna menggambarkan dimensi yang lebih tinggi. Kotak berdimensi tiga tidak tampak sempurna bila digambarkan di bidang yang berdimensi dua.

Sekarang bayangkan ada alam berdimensi dua (bidang) berbentuk U. Makhluk di alam “U” itu bila akan berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya perlu menempuh jarak jauh. Kita yang berada di alam yang berdimensi lebih tinggi dengan mudah memindahkannya dari satu ujung ke ujung lainnya dengan mengangkat makhluk itu keluar dari dimensi dua, tanpa perlu berkeliling menyusuri lengkungan “U”.

Alam malaikat (juga jin) bisa jadi berdimensi lebih tinggi dari dimensi ruang waktu, sehingga bagi mereka tidak ada lagi masalah jarak dan waktu. Karena itu mereka bisa melihat kita, tetapi kita tidak bisa melihat mereka. Ibaratnya dimensi dua tidak dapat menggambarkan dimensi tiga, tetapi sebaliknya dimensi tiga mudah saja menggambarkan dimensi dua. Bukankah isyarat di dalam Al-Quran dan Hadits juga menunjukkan hal itu. Malaikat dan jin tidak diberikan batas waktu umur, sehingga seolah tidak ada kematian bagi mereka. Mereka pun bisa berada di berbagai tempat karena tak di batas oleh ruang.

Rasulullah bersama Jibril diajak ke dimensi malaikat, sehingga Rasulullah dapat melihat Jibril dalam bentuk aslinya (baca QS 53:13-18). Rasul pun dengan mudah pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya, tanpa terikat ruang dan waktu. Langit dalam konteks Isra’ Mi’raj pun bukanlah langit fisik berupa planet atau bintang, tetapi suatu dimensi tinggi. Langit memang bermakna sesuatu di atas kita, dalam arti fisik maupun non-fisik.

Sains Terintegrasi dengan Aqidah dan Ibadah

Bagaimanapun ilmu manusia tak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra’ mi’raj. Allah hanya memberikan ilmu kepada manusia sedikit sekali (QS. Al-Isra: 85). Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa Isra’ mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah SAW. Rupanya, begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (QS. Al-Isra:60) dan menyampaikan perintah shalat wajib secara langsung kepada Rasulullah SAW.

“…dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan kepadamu: ‘Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia’ dan Kami tidak menjadikan penglihatan (saat Isra’ mi’raj) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia …”

Pemahaman dengan pendekatan konsep ekstra dimensi sekadar pendekatan sains untuk merasionalkan konsep aqidah terkait Isra’ mi’raj, walau belum tentu tepat. Tetapi upaya pendekatan saintifik sering dipakai sebagai dalil aqli (akal) untuk memperkuat keyakinan dalam aqidah Islam. Sains seharusnya tidak kontradiktif dengan aqidah dan aqidah bukan hal yang bersifat dogmatis semata, tetapi memungkinkan dicerna dengan akal. Mengintegrasikan sains dalam memahami aqidah dapat menghapuskan dikotomi aqidah dan sains, karena Islam mengajarkan bahwa kajian sains tentang ayat-ayat kauniyah tak terpisahkan dari pemaknaan aqidah.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS 3:190-191).

Pada sisi lain Isra’ mi’raj mengajarkan makna mendalam dalam hal ibadah. Makna penting Isra’ mi’raj bagi umat Islam ada pada keistimewaan penyampaian perintah shalat wajib lima waktu. Ini menunjukkan kekhususan shalat sebagai ibadah utama dalam Islam. Shalat mesti dilakukan oleh setiap Muslim, baik dia kaya maupun miskin, dia sehat maupun sakit. Ini berbeda dari ibadah zakat yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu secara ekonomi, atau puasa bagi yang kuat fisiknya, atau haji bagi yang sehat badannya dan mampu keuangannya.

Shalat lima kali sehari semalam yang didistribusikan di sela-sela kesibukan aktivitas kehidupan, mestinya mampu membersihkan diri dan jiwa setiap Muslim. Allah mengingatkan:

“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Ankabut:45).

Isra’ dan mi’raj juga memberikan inspirasi untuk merenungi makna ibadah shalat, termasuk aspek saintifiknya. Umat Islam telah membuktikan bahwa sains pun bisa diintegrasikan dalam urusan ibadah, untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah. Demi kepentingan ibadah shalat, umat Islam mengembangkan ilmu astronomi atau ilmu falak untuk penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Tuntutan ibadah mendorong kemajuan sains astronomi pada awal sejarah Islam. Kini astronomi telah menjadi alat bantu utama dalam penentuan arah kiblat dan waktu shalat. Konsepsi astronomi bola digunakan untuk penentuan arah kiblat. Perhitungan posisi matahari digunakan untuk mencari waktu istimewa dalam penentuan arah kiblat dan jadwal shalat harian. Kita cukup melihat jadwal shalat, tidak lagi direpotkan harus melihat langsung fenomena cahaya matahari atau bayangannya setiap akan shalat. Kini semua umat Islam Indonesia, apa pun ormasnya, secara umum bisa bersepakat dengan kriteria astronomis dalam penyusunan jadwal shalat.

Inspirasi pemanfaatan sains dalam ibadah juga diperluas untuk ibadah-ibadah lainnya terkait dengan penentuan waktu. Penentuan awal Ramadhan dan hari raya kini sudah banyak memanfaatkan pengetahuan astronomi atau ilmu falak, baik untuk keperluan perhitungannya (hisab) maupun untuk pengamatannya (rukyat). Penentuan awal Ramadhan atau hari raya yang kadang berbeda saat ini bukan lagi disebabkan oleh perbedaan metode hisab dan rukyat, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan kriteria astronomisnya. Alangkah indahnya kalau pelajaran kesepakatan kriteria astronomis dalam penentuan jadwal shalat juga diterapkan untuk penentuan awal Ramadhan dan hari raya sehingga potensi perbedaan dapat dihilangkan. Tanpa kesepakatan kriteria itu, tahun ini dan beberapa tahun ke depan kita akan menghadapi lagi persoalan perbedaan awal Ramadhan dan hari raya.

Upaya menuju titik temu kriteria astronomi sudah mulai dilakukan. Tinggal selangkah lagi kita bisa mendapatkan kriteria hisab rukyat Indonesia yang mempersatukan umat. Isra’ mi’raj pun mengajarkan upaya menuju “titik temu” menurut cara pandang manusiawi antara Allah dan Rasulullah terkait dengan jumlah shalat wajib yang semula 50 kali menjadi 5 kali sehari semalam. Satu sisi itu menunjukkan kemurahan Allah, tetapi pada sisi lain kita bisa mengambil pelajaran bahwa kompromi untuk mencapai titik temu adalah suatu keniscayaan. Kita tidak boleh memutlakkan pendapat kita seolah tidak bisa berubah, termasuk untuk mencapai titik temu. Kriteria astronomis hisab rukyat juga bukan sesuatu yang mutlak, mestinya bisa kita kompromikan untuk mendapatkan kesepakatan ada ketenteraman dalam beribadah shaum Ramadhan dan ibadah yang terkait dengan hari raya (zakat fitrah, shalat hari raya, Shaum di bulan Syawal, shaum Arafah)

Isra’ mi’raj memberikan inspirasi mengintegrasikan sains dalam memperkuat aqidah dan menyempurnakan ibadah, selain mengingatkan pentingnya shalat lima waktu.
Wallahu Ta’ala A’lamu bish showwab
Barakallahu fiikum wa jazakumullah khairan khatsir,,
.

والسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

»»  READMORE...

Istri Sholehah,Keutamaan Dan Sifat-Sifatnya

Istri Sholehah,Keutamaan Dan Sifat-Sifatnya

`*•Yaa Rabbi•*´¯)Ajarilah kami bagaimana memberi sebelum meminta,berfikir sebelum bertindak,santun dalam berbicara,tenang ketika gundah,diam ketika emosi melanda,bersabar dalam setiap ujian.Jadikanlah kami orang yg selembut Abu Bakar Ash-Shiddiq,sebijaksana Umar bin Khattab,sedermawan Utsman bin Affan,sepintar Ali bin Abi Thalib,sesederhana Bilal,setegar Khalid bin Walid radliallahu’anhumღAmiin ya Rabbal’alamin.

Apa yang sering diangankan oleh kebanyakan laki-laki tentang wanita yang bakal menjadi pendamping hidupnya? Cantik, kaya, punya kedudukan, karir bagus, dan baik pada suami. Inilah keinginan yang banyak uncul. Sebuah keinginan yang lebih tepat disebut angan-angan, karena jarang ada wanita yang memiliki sifat demikian. Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan dzahir, sementara unsur akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan. Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah tangganya.

Seorang muslim yang shalih, ketika membangun mahligai rumah tangga maka yang menjadi dambaan dan cita-citanya adalah agar kehidupan rumah tangganya kelak berjalan dengan baik, dipenuhi mawaddah wa rahmah, sarat dengan kebahagiaan, adanya saling ta‘awun (tolong menolong), saling memahami dan saling mengerti.

Dia juga mendamba memiliki istri yang pandai memposisikan diri untuk menjadi naungan ketenangan bagi suami dan tempat beristirahat dari ruwetnya kehidupan di luar. Ia berharap dari rumah tangga itu kelak akan lahir anak turunannya yang shalih yang menjadi qurratu a‘yun (penyejuk mata) baginya.

Demikian harapan demi harapan dirajutnya sambil meminta kepada Ar-Rabbul A‘la (Allah Yang Maha Tinggi) agar dimudahkan segala urusannya.

Namun tentunya apa yang menjadi dambaan seorang muslim ini tidak akan terwujud dengan baik terkecuali bila wanita yang dipilihnya untuk menemani hidupnya adalah wanita shalihah. Karena hanya wanita shalihah yang dapat menjadi teman hidup yang sebenarnya dalam suka maupun lara, yang akan membantu dan mendorong suaminya untuk taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya dalam diri wanita shalihah tertanam aqidah tauhid, akhlak yang mulia dan budi pekerti yang luhur. Dia akan berupaya ta‘awun dengan suaminya untuk menjadikan rumah tangganya bangunan yang kuat lagi kokoh guna menyiapkan generasi Islam yang diridhai Ar-Rahman.

Sebaliknya, bila yang dipilih sebagai pendamping hidup adalah wanita yang tidak terdidik dalam agama1 dan tidak berpegang dengan agama, maka dia akan menjadi duri dalam daging dan musuh dalam selimut bagi sang suami. Akibatnya rumah tangga selalu sarat dengan keruwetan, keributan, dan perselisihan. Istri seperti inilah yang sering dikeluhkan oleh para suami, sampai-sampai ada di antara mereka yang berkata: “Aku telah berbuat baik kepadanya dan memenuhi semua haknya namun ia selalu menyakitiku.”

Duhai kiranya wanita itu tahu betapa besar hak suaminya, duhai kiranya dia tahu akibat yang akan diperoleh dengan menyakiti dan melukai hati suaminya….! Namun dari mana pengetahuan dan kesadaran itu akan didapatkan bila dia jauh dari pengajaran dan bimbingan agamanya yang haq? Wallahu Al-Musta‘an.

Keutamaan wanita shalihah

Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan2 dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ

وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya3, bila diperintah4 akan mentaatinya5, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)

Berkata Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah: “Tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya bahwa tidak berdosa mereka mengumpulkan harta selama mereka menunaikan zakatnya, beliau memandang perlunya memberi kabar gembira kepada mereka dengan menganjurkan mereka kepada apa yang lebih baik dan lebih kekal yaitu istri yang shalihah yang cantik (lahir batinnya) karena ia akan selalu bersamamu menemanimu.

Bila engkau pandang menyenangkanmu, ia tunaikan kebutuhanmu bila engkau membutuhkannya. Engkau dapat bermusyawarah dengannya dalam perkara yang dapat membantumu dan ia akan menjaga rahasiamu. Engkau dapat meminta bantuannya dalam keperluan-keperluanmu, ia mentaati perintahmu dan bila engkau meninggalkannya ia akan menjaga hartamu dan memelihara/mengasuh anak-anakmu.” (‘Aunul Ma‘bud, 5/57)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:

أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ،

وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ،

وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.

“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)

Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ

“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)

Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ

“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)

Empat hal tersebut merupakan faktor penyebabdipersuntingnya seorang wanita dan ini merupakan pengabaran berdasarkan kenyataan yang biasa terjadi di tengah manusia, bukan suatu perintah untuk mengumpulkan perkara-perkara tersebut, demikian kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah. Namun dzahir hadits ini menunjukkan boleh menikahi wanita karena salah satu dari empat perkara tersebut, akan tetapi memilih wanita karena agamanya lebih utama. (Fathul Bari, 9/164)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “(فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ), maknanya: yang sepatutnya bagi seorang yang beragama dan memiliki muruah (adab) untuk menjadikan agama sebagai petunjuk pandangannya dalam segala sesuatu terlebih lagi dalam suatu perkara yang akan tinggal lama bersamanya (istri). Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mendapatkan seorang wanita yang memiliki agama di mana hal ini merupakan puncak keinginannya.” (Fathul Bari, 9/164)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini ada anjuran untuk berteman/ bersahabat dengan orang yang memiliki agama dalam segala sesuatu karena ia akan mengambil manfaat dari akhlak mereka (teman yang baik tersebut), berkah mereka, baiknya jalan mereka, dan aman dari mendapatkan kerusakan mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 10/52)

Sifat-sifat Istri Shalihah

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“Wanita (istri) shalihah adalah yang taat lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada dikarenakan Allah telah memelihara mereka.” (An-Nisa: 34)

Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan di antara sifat wanita shalihah adalah taat kepada Allah dan kepada suaminya dalam perkara yang ma‘ruf6 lagi memelihara dirinya ketika suaminya tidak berada di sampingnya.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa‘di rahimahullah berkata: “Tugas seorang istri adalah menunaikan ketaatan kepada Rabbnya dan taat kepada suaminya, karena itulah Allah berfirman: “Wanita shalihah adalah yang taat,” yakni taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” Yakni taat kepada suami mereka bahkan ketika suaminya tidak ada (sedang bepergian, pen.), dia menjaga suaminya dengan menjaga dirinya dan harta suaminya.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal.177)

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadapi permasalahan dengan istri-istrinya sampai beliau bersumpah tidak akan mencampuri mereka selama sebulan, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ

قَانِتَاتٍ تآئِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سآئِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا

“Jika sampai Nabi menceraikan kalian,7 mudah-mudahan Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian, muslimat, mukminat, qanitat, taibat, ‘abidat, saihat dari kalangan janda ataupun gadis.” (At-Tahrim: 5)

Dalam ayat yang mulia di atas disebutkan beberapa sifat istri yang shalihah yaitu:

a. Muslimat: wanita-wanita yang ikhlas (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), tunduk kepada perintah Allah ta‘ala dan perintah Rasul-Nya.

b. Mukminat: wanita-wanita yang membenarkan perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala

c. Qanitat: wanita-wanita yang taat

d. Taibat: wanita-wanita yang selalu bertaubat dari dosa-dosa mereka, selalu kembali kepada perintah (perkara yang ditetapkan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun harus meninggalkan apa yang disenangi oleh hawa nafsu mereka.

e. ‘Abidat: wanita-wanita yang banyak melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (dengan mentauhidkannya karena semua yang dimaksud dengan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an adalah tauhid, kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma).

f. Saihat: wanita-wanita yang berpuasa. (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/126-127, Tafsir Ibnu Katsir, 8/132)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan:

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا،

قِيْلَ لَهَا: ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ

“Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” (HR. Ahmad 1/191, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami’ no. 660, 661)

Dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas, dapatlah kita simpulkan bahwa sifat istri yang shalihah adalah sebagai berikut:

1. Mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mempersembahkan ibadah hanya kepada-Nya tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatupun.

2. Tunduk kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, terus menerus dalam ketaatan kepada-Nya dengan banyak melakukan ibadah seperti shalat, puasa, bersedekah, dan selainnya. Membenarkan segala perintah dan larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

3. Menjauhi segala perkara yang dilarang dan menjauhi sifat-sifat yang rendah.

4. Selalu kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubat kepada-Nya sehingga lisannya senantiasa dipenuhi istighfar dan dzikir kepada-Nya. Sebaliknya ia jauh dari perkataan yang laghwi, tidak bermanfaat dan membawa dosa seperti dusta, ghibah, namimah, dan lainnya.

5. Menaati suami dalam perkara kebaikan bukan dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan melaksanakan hak-hak suami sebaik-baiknya.

6. Menjaga dirinya ketika suami tidak berada di sisinya. Ia menjaga kehormatannya dari tangan yang hendak menyentuh, dari mata yang hendak melihat, atau dari telinga yang hendak mendengar. Demikian juga menjaga anak-anak, rumah, dan harta suaminya.

Sifat istri shalihah lainnya bisa kita rinci berikut ini berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan setelahnya:

1. Penuh kasih sayang, selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا،

الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا،

وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى

“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)

2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami) seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.

3. Menjaga rahasia-rahasia suami, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya:

“Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ

“Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)

4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ

وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)

5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ

“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)

7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ

“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)

Demikian yang dapat kami sebutkan dari keutamaan dan sifat-sifat istri shalihah, mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada kita agar dapat menjadi wanita yang shalihah,Aamiin ya Rabbal’alamin
»»  READMORE...